Minggu, 17 Februari 2008

semiotik 2

Ø Pengertian Semiotik

Secara etimologis, semiotik berasal dari kata Yunani “Semion” yang berarti “Tanda”. Tanda itu sendiri diartikan sebagai sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain.

Contohnya : asap bertanda adanya api

Secara Terminologis, semiotik dapat diartikan sebagai ilmu yang memepelajari sederetan peristiwa yang terjadi di seluruh dunia sebagai tanda.

Pengertian yang paling singkat yang dikemukakan oleh Preminger (2001:89). Semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. “Ilmu ini menganggap bahwa kejadian sosial di masyarakat dan kebudayaannya merupakan tanda-tanda.

1. Hubungan penalaran dengan jenis penandanya.

a. Qualism : Penanda yang bertalian dengan kualitas

b. Sin Sign : Penanda yang bertalian dengan kenyataan

c. Legisign : Penanda yang bertalian dengan kaidah

2. Hubungan kenyataan dengan jenis dasarnya

a. Icon : sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang serupa dengan bentuk objeknya

b. Index : sesuatu yang melaksanakan funsi sebagai penanda yang mengisyaratkan penandanya

c. Symbol : Sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang oleh kaidah secara konvensi telah lazim di gunakan dalam masayarakat.

3. Hubungan pikiran dengan jenis petandanya

a. Rheme or seme : Penanda yang bertalian dengan mungkin terpahamnya objek petanda bagi penafsir

b. Dicent or Drcisign or Pheme : penanda yang menampilkan informasi tentang petandanya.

c. Argument : penanda yang petandanaya akhir bukan suatu benda tetapi kaidah

Ø Macam-macam Semiotik

Ada 9 macam semiotik yang kita ketahui :

1. Semiotik Analitik

Semiotik analitik adalah semiotik yang menganalisis sistem tanda

2. Semiotik Deskriptif

Semiotik deskriptif adalah semiotk yang memeperhatikan sistem tanda yang adapat kita alami sekarang, meskipun ada tanda yang sejak dahulu tetap seperti yang disaksiskan sekarang.

3. Semiotik Faunal (Zoo semiotic)

Semiotik Faunal adalah semiotik yang khusus memperhatikan sistem tanda yang dihasilkan oleh hewan

4. Semiotik Kultural

Semiotik kultural adalah semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang berlaku dalam kebudayaan masyarakat tertentu.

5. Semiotik Naratif

Semiotik Naratif adalah semiotik yang menelaah sistem tanda dalam narasi yang berwujud mitos dan cerita lisan (Folkkore)

6. Semiotik Natural

Semiotik natural adalah semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh alam.

7. Semiotik Normatif

Semiotik normatif adalah semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang di buat oleh manusia yang berwujud norma-norma, misalnya rambu-rambu lalu lintas.

8. Semiotik Sosial

Semiotik sosial adalah semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh manusia yang berupa lambang.

9. Semiotik Struktural

Semiotik struktural adalah semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yag dimanifestasikan melalui struktur bahasa.

Next: just want to say you

semiotik

Semiotik Semiotik atau semiologi merupakan terminologi yang merujuk pada ilmu yang sama. Istilah semiologi lebih banyak digunakan di Eropa sedangkan semiotik lazim dipakai oleh ilmuwan Amerika. Istilah yang berasal dari kata Yunani semeion yang berarti ‘tanda’ atau ‘sign’ dalam bahasa Inggris itu adalah ilmu yang mempelajari sistem tanda seperti: bahasa, kode, sinyal, dan sebagainya. Secara umum, semiotik didefinisikan sebagai berikut. Semiotics is usually defined as a general philosophical theory dealing with the production of signs and symbols as part of code systems which are used to communicate information. Semiotics includes visual and verbal as well as tactile and olfactory signs (all signs or signals which are accessible to and can be perceived by all our senses) as they form code systems which systematically communicate information or massages in literary every field of human behaviour and enterprise. (Semiotik biasanya didefinisikan sebagai teori filsafat umum yang berkenaan dengan produksi tanda-tanda dan simbol-simbol sebagai bagian dari sistem kode yang digunakan untuk mengomunikasikan informasi. Semiotik meliputi tanda-tanda visual dan verbal serta tactile dan olfactory [semua tanda atau sinyal yang bisa diakses dan bisa diterima oleh seluruh indera yang kita miliki] ketika tanda-tanda tersebut membentuk sistem kode yang secara sistematis menyampaikan informasi atau pesan secara tertulis di setiap kegiatan dan perilaku manusia).

Awal mulanya konsep semiotik diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure melalui dikotomi sistem tanda: signified dan signifier atau signifie dan significant yang bersifat atomistis. Konsep ini melihat bahwa makna muncul ketika ada hubungan yang bersifat asosiasi atau in absentia antara ‘yang ditandai’ (signified) dan ‘yang menandai’ (signifier). Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Dengan kata lain, penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”. Jadi, penanda adalah aspek material dari bahasa yaitu apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi, petanda adalah aspek mental dari bahasa (Bertens, 2001:180). Suatu penanda tanpa petanda tidak berarti apa-apa dan karena itu tidak merupakan tanda. Sebaliknya, suatu petanda tidak mungkin disampaikan atau ditangkap lepas dari penanda; petanda atau yang dtandakan itu termasuk tanda sendiri dan dengan demikian merupakan suatu faktor linguistik. “Penanda dan petanda merupakan kesatuan seperti dua sisi dari sehelai kertas,” kata Saussure. Louis Hjelmslev, seorang penganut Saussurean berpandangan bahwa sebuah tanda tidak hanya mengandung hubungan internal antara aspek material (penanda) dan konsep mental (petanda), namun juga mengandung hubungan antara dirinya dan sebuah sistem yang lebih luas di luar dirinya. Bagi Hjelmslev, sebuah tanda lebih merupakan self-reflective dalam artian bahwa sebuah penanda dan sebuah petanda masing-masing harus secara berturut-turut menjadi kemampuan dari ekspresi dan persepsi. Louis Hjelmslev dikenal dengan teori metasemiotik (scientific semiotics). Sama halnya dengan Hjelmslev, Roland Barthes pun merupakan pengikut Saussurean yang berpandangan bahwa sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Semiotik, atau dalam istilah Barthes semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak dikomunikasikan, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda. Salah satu wilayah penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktivan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara lugas mengulas apa yang sering disebutnya sebagai sistem pemaknaan tataran ke-dua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. sistem ke-dua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam buku Mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotative atau sistem pemaknaan tataran pertama.


1. signifier

   (penanda)                                       2. signified
(petanda)

3. denotative sign (tanda denotatif) 4. CONNOTATIVE SIGNIFIER

   (PENANDA KONOTATIF)     5. CONNOTATIVE  SIGNIFIED        
(PETANDA KONOTATIF)

6. CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF)

Gambar 2. Peta Tanda Roland Barthes

Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekadar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Pada dasarnya, ada perbedaan antara denotasi dan konotasi dalam pengertian secara umum serta denotasi dan konotasi yang dipahami oleh Barthes. Di dalam semiologi Barthes dan para pengikutnya, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi justru lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna. Sebagai reaksi untuk melawan keharfiahan denotasi yang bersifat opresif ini, Barthes mencoba menyingkirkan dan menolaknya. Baginya yang ada hanyalah konotasi. Ia lebih lanjut mengatakan bahwa makna “harfiah” merupakan sesuatu yang bersifat alamiah (Budiman, 1999:22). Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai ‘mitos’ dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, dan tanda. Namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan tataran ke-dua. Di dalam mitos pula sebuah petanda dapat memiliki beberapa penanda. Berbeda dengan para ahli yang sudah dikemukakan di atas, Charles Sanders Peirce, seorang filsuf berkebangsaan Amerika, mengembangkan filsafat pragmatisme melalui kajian semiotik. Bagi Peirce, tanda “is something which stands to somebody for something in some respect or capacity.” Sesuatu yang digunakan agar tanda bisa berfungsi disebut ground. Konsekuensinya, tanda (sign atau representamen) selalu terdapat dalam hubungan triadik, yakni ground, object, dan interpretant (lihat gambar 3). Atas dasar hubungan ini, Peirce membuat klasifikasi tanda. Tanda yang dikaitkan dengan ground dibaginya menjadi qualisign, sinsign, dan legisign. Qualisign adalah kualitas yang ada pada tanda. Sinsign adalah eksistensi aktual benda atau peristiwa yang ada pada tanda. Sedangkan legisign adalah norma yang dikandung oleh tanda. Peirce membedakan tiga konsep dasar semiotik, yaitu: sintaksis semiotik, semantik semiotik, dan pragmatik semiotik. Sintaksis semiotik mempelajari hubungan antartanda. Hubungan ini tidak terbatas pada sistem yang sama. Contoh: teks dan gambar dalam wacana iklan merupakan dua sistem tanda yang berlainan, akan tetapi keduanya saling bekerja sama dalam membentuk keutuhan wacana iklan. Semantik semiotik mempelajari hubungan antara tanda, objek, dan interpretannya. Ketiganya membentuk hubungan dalam melakukan proses semiotis. Konsep semiotik ini akan digunakan untuk melihat hubungan tanda-tanda dalam iklan (dalam hal ini tanda non-bahasa) yang mendukung keutuhan wacana. Pragmatik semiotik mempelajari hubungan antara tanda, pemakai tanda, dan pemakaian tanda. Berdasarkan objeknya, Peirce membagi tanda atas icon (ikon), index (indeks), dan symbol (simbol). Ikon adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat bersamaan bentuk alamiah. Dengan kata lain, ikon adalah hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan; misalnya foto. Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan; misalnya asap sebagai tanda adanya api. Tanda seperti itu adalah tanda konvensional yang biasa disebut simbol. Jadi, simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya. Hubungan di antaranya bersifat arbitrer, hubungan berdasarkan konvensi masyarakat. Berdasarkan interpretant, tanda (sign, representamen) dibagi atas rheme, dicent sign atau dicisign dan argument. Rheme adalah tanda yang memungkinkan orang menafsirkan berdasarkan pilihan. Dicent sign atau dicisign adalah tanda sesuai dengan kenyataan. Sedangkan argument adalah yang langsung memberikan alasan tentang sesuatu.


Minggu, 30 Desember 2007

TAREKAT QADIRIYAH WA NAQSYABANDIYAH

TAREKAT QADIRIYAH WA NAQSYABANDIYAH

Di Indonesia.

I. Sejarah Perkembangannya

Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah adalah sebuah tarekat yang merupakan univikasi dari dua tarekat besar, yaitu Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah.[1] Penggabungan kedua tarekat tersebut kemudian dimodifikasi sedemikian rupa, sehingga terbentuk sebuah tarekat yang mandiri dan berbeda dengan kedua tarekat induknya. Perbedaan itu terutama terdapat dalam bentuk-bentuk riyadhah dan ritualnya. Penggabungan dan modifikasi yang sedemikian ini memang suatu hal yang sering terjadi di dalam Tarekat Qadiriyah.[2]

71

Sebelum membahas lebih lanjut tentang sejarah perkembangan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, kiranya perlu diketengahkan sekilas tentang perkembangan kedua tarekat induknya tersebut. Yaitu Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah.

1. Tarekat Qadiriyah

Nama tarekat ini dinisbatkan kepada seorang sufi besar yang sangat legendaris, dengan sekian banyak sebutan kehormatan, antara lain : Qutb al-auliya’, shahib al-karamat, dan Sulthan al-auliya’. Ia diyakini sebagai pemilik dan pendiri tarekat ini. Sufi besar itu adalah Syekh Muhyiddin Abd Qadir al-jailani. [3]

Syekh Abd. Qadir al-Jailani dilahirkan pada tahun 470 H. (1077 M) di Jilan (Wilayah Iraq sekarang), dan meninggal di Baghdad pada tahun 561 H. (1166 M.) [4] Beliau adalah seorang sufi besar yang kealiman dan kepribadiannya banyak mendapat pujian dari para sufi dan ulama’ sesudahnya.[5] Syekh Abd. Qadir al-Jailani adalah juga seorang ulama’ besar sunni yang bermazhab Hambali yang cukup produktif. Ia telah menulis beberapa karya, satu di antaranya berjudul “Al-Ghun yah li Thabili Thariq al-Haq”. Kitab ini merupakan kitabnya yang sering menjadi rujukan dalam karyanya yang lain. Ini memuat beberapa dimensi keislaman, seperti fikih, tauhid, ilmu kalam, dan akhlaq tasawuf.[6] Dilihat dari beberapa buah karyanya, tidak diragukan lagi bahwa beliau adalah seorang teolog (ahli ilmu kalam), seorang mujtahid dalam fiqih dan juga seorang orator yang piawai.

Syekh Abd. Qadir al-Jailani memimpin madrasah dan ribathnya di Baghdad, Sepeninggalnya, kepemimpinannya dilanjutkan oleh anaknya yang bernama Abd. Wahab (552-593 H./1151-1196 M.) Dan setelah Abd. Wahab wafat, maka kepemimpinannya dilanjutkan oleh puteranya yang bernama Abd. Salam (w. 611 H./1241 M.) Madrasah dan ribath (pemondokan para sufi), secara turun menurun tetap berada di bawah pengasuhan keturunan Syekh Abd. Qadir al-Jailani. Hal ini berlangsung sampai hancurnya kota Baghdad oleh ganasnya serangan tentara Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan (1258 M./656 H.). Serangan Hulagu Khan inilah yang menghancurkan sebagian besar keluarga Syekh Abd. Qadir al-Jailani, serta mengakhiri eksistensi madrasah dan ribath-nya di kota Baghdad[7].

Perkembangan tarekat ini ke berbagai daerah kekuasaan Islam di luar Baghdad adalah suatu hal yang wajar. Karena sejak zaman Syekh Abd. Qadir al-Jailani, sudah ada beberapa muridnya yang mengajarkan metode dan ajaran tasawufnya ke berbagai negeri Islam. Di antaranya ialah : Ali Muhammad al-Haddad di daerah Yaman, Muhammad al-Batha’ihi di daerah Balbek dan di Syiria, dan Muhammad ibn Abd. Shamad menyebarkan ajarannya di Mesir. Demikian juga karena kerja keras dan ketulusan putera-puteri Syekh Abd. Qadir al-Jailani sendiri untuk melanjutkan tarekat ayahandanya, sehingga pada abad 12-13 M, tarekat ini telah tersebar ke berbagai daerah Islam, baik di Barat maupun di Timur.

Menurut Trimingham, Tarekat Qadiriyah sampai dengan sekarang ini (abad XX), masih merupakan tarekat yang terbesar di dunia Islam, dengan berjuta-juta pengikutnya. Mereka tersebar di berbagai penjuru dunia, seperti Yaman, Mesir, India, Turki, Syiria, dan Afrika. Trimingham juga mencatat, ada 29 jenis tarekat baru yang merupakan modifikasi baru dari Tarekat Qadiriyah (Qadiri Group’s).[8] ini terjadi karena dalam Tarekat Qadiriyah ada kebebasan bagi para murid yang telah mencapai tingkat mursyid, untuk tidak terikat dengan metode yang diberikan oleh mursyidnya, dan bisa membuat metode riyadlah tersendiri.[9] Keduapuluh sembilan jenis tarekat tesebut menyebar ke berbagai belahan dunia Islam, di samping Tarekat Qadiriyah itu sendiri, dan tarekat-tarekat lain yang belum terjangkau dalam penelitian Trimingham, seperti Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Indonesia. Tarekat ini masuk Indonesia sekitar tahun 1870-an.

2. Tarekat Naqsyabandiyah

Nama tarekat besar ini dinisbatkan kepada seorang sufi besar yang hidup antara tahun 717 H./1317 M.-791 H./1389 M. di kota Bukhara, wilayah Yugolavia sekarang. Ia adalah Muhammad ibn Muhammad Baha’uddin al-Uwaisi al Bukhari al-Naqsyabandi. Al-Naqsyabandi di lahirkan di desa Hinduan yang terletak beberapa kilometer dari kota Bukhara, di sini pula ia wafat dan dimakamkan.[10]

Tarekat ini selain dikenal dengan nama Tarekat Naqsyabandiyah, juga disebut dengan Tarekat Khawajakiyah. Nama ini dinisbatkan kepada Abd. Khaliq Ghujdawani (w. 1220 M.). Ia adalah seorang sufi dan mursyid tarekat itu, dan merupakan kakek spiritual al-Naqsyabandi yang keenam. Ghujdawani adalah peletak dasar ajaran tarekat ini, yang kemudian ditambah oleh al-Naqsyabandi. Karena Ghujdawani hanya merumuskan delapan ajaran pokok, maka setelah ditambah oleh al-Naqsyabandi dengan tiga ajaran pokok, maka ajaran Tarekat Naqsyabandiyah menjadi sebelas.[11]

Pusat perkembangan Tarekat Naqsyabandiyah ini berada di daerah Asia Tengah.[12] Dan diduga keras bahwa tarekat ini telah menyebar sejak abad 12 M., dan sudah ada pemimpin lasykar yang menjadi murid Ghujdawani. Sehingga tarekat ini berperan penting dalam kerajaan Timurid. Apalagi setalah tarekat ini berada di bawah kepemimpinan Nashiruddin Ubaidillah al-Ahrar (1404-1490 M.), maka hampir seluruh wilayah Asia Tengah “dikuasai” oleh Tarekat Naqsyabandiyah.[13]

Tarekat Naqsyabandiyah mulai masuk ke India, diperkirakan mulai pada masa pemerintahan Babur pendiri kerajaan Mughal, (w. 1530 M.) di India. Karena masa kepemimpinan Ubaidillah al-Ahrar (Asia Tengah) Yunus Khan Mughal paman Barbur yang tingal di pemukiman Mongol sudah menjadi pengikut tarekat ini. Akan tetapi perkembangan di India baru mulai pesat setelah kepemimpinan Muhammad Baqi’Billah (w. 1603 M.).[14]

Annameri Schimel, banyak menulis tentang peranan para tokoh Naqsyabandiyah di India, di antaranya adalah Ahmad Faruqi Shirhindi (w. 1642 M.) dan Syah Waliyullah al-Dahlawi (w. 1762 M.), seorang tokoh pembaharu yang cukup terkenal.[15]

Masuknya Tarekat Naqsyabandiyah ke Makkah justru melalui India. Tarekat ini dibawa oleh Tajuddin ibn Zakaria (w. 1050 H./ 1640 M.) ke Makkah.[16] Pada abad XIX M. Tarekat Naqsyabandiyah telah memiliki pusat penyebaran di kota suci ini, sebagaimana tarekat-tarekat besar yang lain. Snouck Hurgronje memberitakan, bahwa pada masa itu terdapat markas besar Tarekat Naqsyabandiyah di kaki gunung Jabal Qubais di bawah kepemimpinan Sulaiman Effendi. Ia memperoleh banyak pengikut dari berbagai negara, dengan melalui jamaah haji, termasuk jamaah haji dari Indonesia.[17] Menurut Trimingham, seorang syekh Naqsyabandiyah di Minagkabau dibai’at di Makkah pada tahun 1845 M.[18] Sehingga di Arab sekarang ini setidaknya terdapat tiga cabang besar Tarekat Naqsyabandiyah, yaitu Khalidiyah di Makkah, Mazhariyah di Madinah, dan Mujaddidiyah (murni) di Makkah. Dari kedua kota suci ini kemudian Tarekat Naqsyabandiyah ini masuk ke Indonesia. Akan tetapi dari ketiga jalur (cabang) tersebut, jalur ketiga tidak banyak diketahui keberadaannya di Indonesia.

3. Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah Suryalaya

Tarekat ini didirikan oleh sufi dan syekh besar masjid al-Haram di Makkah al-Makarrammah. Ia bernama Ahmad Khathib ibn Abd. Ghaffar al-Sambasi al-Jawi. Ia wafat di Makkah pada tahun 1878 M. Beliau adalah seorang ulama besar dari Indonesia, yang tinggal sampai akhir hayatnya di Makkah. [19] Syekh Ahmad Khatib adalah seorang mursyid Tarekat Qadiriyah, di samping juga ada yang menyebutkan bahwa beliau adalah juga mursyid dalam Tarekat Naqsyabandiyah. [20] Akan tetapi beliau hanya menyebutkan silsilah tarekatnya dari sanad Tarekat Qadiriyah. [21] Dan sampai sekarang belum diketemukan, dari sanad mana beliau menerima bai’at Tarekat Naqsyabandiyah.

Sebagai seorang mursyid yang sangat ‘alim dan ‘arif billah, Syekh A.Khathib memiliki otoritas untuk membuat modifikasi tersendiri bagi tarekat yang dipimpinnya. Karena dalam Tarekat Qadiriyah memang ada kebebasan untuk itu, bagi yang telah mencapai derajat mursyid.[22] Tetapi yang jelas pada masanya telah ada pusat penyebaran Tarekat Naqsyabandiyah di kota suci Makkah maupun di Madinah.[23] Sehingga sangat dimungkinkan ia mendapat bai’at Tarekat Naqsabandiyah dari kemursyidan tarekat tersebut. Kemudian ia menggabungkan inti ajaran kedua tarekat tersebut, yaitu Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah dan mengajarkan pada murid-muridnya khususnya yang berasal dari Indonesia.

Penggabungan inti ajaran kedua tarekat itu, dimungkinkan atas dasar pertimbangan logis dan strategis bahwa kedua ajaran inti itu bersifat saling melengkapi, terutama dalam hal jenis dzikir dan metodenya. Tarekat Qadiriyah menekankan ajarannya pada dzikir jahr (bersuara), sedangkan Tarekat Naqsyabandiyah menekankan model dzikir sirr (diam), atau dzikir lathaif. [24] Dengan penggabungan itu diharapkan para muridnya dapat mencapai derajat kesufian yan lebih tinggi, dengan cara yang lebih efektif dan efisien.

Akan tetapi dinyatakan dalam kitabnya “Fath al-Arifin”, bahwa sebenarnya tarekat ini tidak hanya merupakan univikasi dari dua tarekat tersebut. Tetapi, merupakan penggabungan dan modivikasi dari lima ajaran tarekat, yaitu Tarekat Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Anfasiah, Junaidiyah, dan Muwafaqah.[25] Hanya karena yang diutamakan ajaran Qadiriyah dan Naqsyabandiyah, maka diberi namalah tarekat ini “ Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah”. Konon tarekat ini tidak berkembang di kawasan lain ( selain wilayah Asia Tenggara ).[26]

Penamaan tarekat ini tidak terlepas dari sikap rendah diri (tawadlu’) dan mengagungkan guru (ta’zhim) Syekh Ahmad Khathib yang sangat alim itu, kepada pendiri kedua tarekat tersebut. Sehingga beliau tidak menitsbatkan nama tarekatnya itu pada dirinya. Padahal melihat modifikasi ajaran, dan tata cara ritual tarekatnya, sebenarnya lebih tepat kalau dinamakan dengan Tarekat Khatibiyah atau Sambasiah. Karena memang tarekat ini merupakan hasil ‘ijtihad’-nya. Syekh Ahmad Khatib telah memadukan keunikan-keunikan beberapa tarekat ( Tarekat Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Anfasiah, Junaidiyah, dan Mufaqah ) dalam suatu tarekat yang mandiri.

Syekh Ahmad Khatib memiliki banyak murid dari beberapa daerah di kawasan Nusantara, dan beberapa orang khalifah. Di antara khalifah-khalifahnya yang terkenal dan kemudian menurunkan murid-murid yang banyak sampai sekarang ini adalah : Syekh Abd. Karim al-Bantani, Syekh Ahmad Thalhah al- Cireboni, dan Syekh Ahmad Hasbu al-Maduri. Sedangkan khalifah-Khalifah yang lain, seperti : Muhammad Isma’il ibn Abd. Rachim dari Bali, Syekh Yasin dari Kedah Malaysia, Syekh Haji Ahmad Lampung dari Lampung (Sum-Sel), dan M. Ma’ruf ibn Abdullah al-Khatib dari Palembang, kurang begitu berarti dalam sejarah perkembangan tarekat ini. [27]

Syekh Muhammad Isma’il (Bali) menetap dan mengajar di Makkah. Sedangkan Syekh Yasin setelah menetap di Makkah, belakangan menyebarkan tarekat ini di Mempawah Kalimantan Barat. Adapun Haji Lampung dan M. Ma’ruf al-Palimbangi masing-masing turut membawa ajaran tarekat ini ke daerahnya masing-masing.[28] Penyebaran ajaran Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di daerah Sambas (asal daerah Syekh Ahmad Khatib), dilakukan oleh kedua khalifahnya, yaitu Syekh Nuruddin dari Philipina dan Syekh Muhammad Sa’ad putera asli Sambas.[29]

Mungkin karena sistem penyebarannya yang tidak didukung oleh sebuah lembaga yang permanen (sebagaimana pesantren-pesantren di Pulau Jawa), maka penyebaran yang dilakukan oleh para khalifah Syekh Ahmad Khatib di luar pulau Jawa kurang begitu berhasil. Sehingga sampai sekarang ini, keberadaannnya tidak begitu dominan. Setelah wafatnya Syekh Ahmad Khatib, maka kepemimpinan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Makkah (pusat), dipegang oleh Syekh Abd. Karim al-Bantani. Dan semua khalifah Syekh Ahmad Khatib menerima kepemimpinan ini. Tetapi setelah Syekh Abd. Karim al-Bantani meninggal, maka para khalifah tersebut kemudian melepaskan diri, dan masing-masing bertindak sebagai mursyid yang tidak terikat kepada mursyid yang lain. Dengan demikian berdirilah kemursyidan-kemursyidan baru yang independen.[30]

Khalifah Syekh Ahmad Khatib yang berada di Cirebon, yaitu Syekh Thalhah, ia mengembangkan tarekat ini secara mandiri. Kemursyidan yang dirintis oleh Syekh Thalhah ini kemudian dilanjutkan oleh khalifahnya yang terpenting. Ia adalah Abdullah Mubarak ibn Nur Muhammad.. Dia kemudian mendirikan pusat penyebaran tarekat ini di wilayah Tasikmalaya (Suryalaya). Sebagai basisnya didirikanlah pondok pesantren Suryalaya. Dan belakangan nama beliau sangat terkenal dengan panggilan Abah Sepuh. [31]

Kepemimpinan tarekat yang berada di Suryalaya ini, setelah meninggalnya Abah Sepuh digantikan oleh Abah Anom. Ia adalah putra Abah Sepuh (Abdullah Mubarak), yang bernama A. Shahibul Wafa Tajul Arifin. Beliau memimpim pesantren dan tarekat ini sampai sekarang. Di bawah kepemimpinan Abah Anom ini Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di kemursyidan Suryalaya berkembang sangat pesat. Dengan menggunakan metode riyadlah dalam tarekat ini, Abah Anom mengembangkan psikoterapi alternatif, terutama bagi para remaja yang mengalami degradasi mental karena penyalahgunaan obat-obatan terlarang (narkoba), seperti; ganja,potau, morfin, heroin dan sebagainya. Mursyid ini mempunyai wakil talqin, yang cukup banyak, dan tersebar di tiga puluh lima daerah. Termasuk dua diantaranya di Singapura dan Malaysia. [32]

Kemursyidan Tarekat Qadiriyah Naqsybandiyah di Tasikmalaya berpusat di pondok pesantren Suryalaya yang berarti matahari terbit. Sebuah pesantren di kampung Godebag, Tanjung Kerta Pagerageng, Tasikmalaya Jawa Barat, 30 km dari ibukota kabupaten dan 80 km dari kota Bandung. Pondok Pesantren Suryalaya ini sejak awal didirikannya (oleh Syekh Haji Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad, 7 Rojab 1323 H (5 September 1905)[33] adalah merupakan pusat tarekat (kemursidan) Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah, karena pendiri pesantren ini adalah mursyid tarekat tersebut.

Dari kemursyidan Tasikmalaya ini, Tarekat Qadiriyah–Naqsyabandiyah menyebar ke seluruh penjuru Nusantara, bahkan sampai di negeri-negeri tetangga, yaitu Singapura dan Malaysia. Di bawah kepemimpinan mursyid yang sekarang ini (Syekh KH. Ahmad Shohibul wafa Tajul Arifin atau Abah Anom), tarekat ini berkembang dengan sangat pesatnya sehingga beliau mempunyai wakil pentalqin (badal) di tiga puluh lima daerah, termasuk di antaranya di dua negara tetangga tersebut.[34]

Di antara keunikan Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah kemursyidan Tasikmalaya ini, adalah Filosofi penyebaran ajarannya. Pada umumnya kaum muslimin pengikut faham Ahli al-sunnah wal jama’ah (sunni) dan pengikut Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah khususnya, berkeyakinan bahwa seorang yang memasuki dunia tasawuf atau tarekat “dipersyaratkan” telah memiliki ilmu dan amaliyah syari’at yang mantap. Karena tarekat dianggap sebagai jenjang dan tingkat kehidupan keagamaan di atas jenjang syari’at. Karena alasan ini, maka kebanyakan pengikut tarekat (di luar kemursyidan Suryalaya) adalah mereka yang telah mengenal ilmu syari’at dengan baik, atau setidaknya telah menjalankan perintah agama secara disiplin.

Lain halnya dengan filosofi yang dipegangi oleh kemursyidan-kemursyidan tersebut, dalam kemursyidan Suryalaya, filosofi da’wah (penyebaran ajaran) yang dipegangi adalah, bahwa agar seorang dapat memeluk agama Islam secara baik dan benar yang pertama kali harus diperkuatkan adalah ajaran tauhid atau iman, bukan ajaran syari’at atau Islam. Seorang harus kenal dan cinta terlebih dahulu dengan Tuhan, baru kemudian dia akan mudah melaksanakan syari'at (ketentuan-ketentuan Tuhan).[35] Karena logika ini, maka kemursyidan ini dapat menerima anggota baru yang sama sekali awam dalam bidang ilmu dan amal-amal keislaman. Bahkan para remaja yang sudah sangat rusak moralnya, akibat penyalahgunaan obat-obat terlarang diajarkan untuk mengamalkan ajaran tarekat ini juga.

Dengan mengamalkan ajaran tarekat dengan baik (khususnya dzikir), maka seseorang akan terbuka kesadarannya untuk dapat mengamalkan syari’at dengan baik, walaupun secara kognetif tidak banyak memiliki ilmu keislaman. Karena ia akan mendapat pengetahuan dari Tuhan (ma’rifah) dan cinta Tuhan (mahabbah), karena buah (tsamrah) nya dzikir. Dan juga karena buahnya dzikir, maka dalam diri seseorang terjadi penyucian jiwa (tazkiyat al-nafsi). Dan dengan jiwa yang suci seseorang akan dengan ringan dapat melaksanakan syari’at Allah.

Kenal dan cinta kepada Allah adalah kunci kebahagiaan hidup, kenyakinan para sufi memang “Mengenal Allah adalah permulaan orang beragama”. Dan karena secara empiris kebenaran logika ini telah terbukti, bahwa orang-orang yang telah diperkenalkan dengan Tuhan dan diajari (ditalqin) menyebut Asma Allah berubah menjadi manusia yang berkepribadian baik, maka akhirnya sejak tahun 1971 Abah Anom sering mendapat titipan anak (remaja) yang sedang mengalami kelainan jiwa untuk dibina dengan metode tarekat, maka akhirnya didirikanlah pondok remaja inabah, sebagai laboratorium psikoterapi Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah.

Para pasien dan sekaligus murid tarekat ini dibina dan disadarkan dengan pendekatan sufistik. Di mana mereka diajak berpraktek membersihkan jiwa (tazkiyat al-nafsi), agar muncul kesadaran diri (self conciousness). Sehingga berubah sikap mental dan perilakunya yang semula distruktif menjadi perilaku yang konstruktif. Karena tanggapan dan sambutan masyarakat terhadap berdirinya pondok remaja cukup baik, maka pondok ini terus berkembang sampai sekarang. Kemursyidan Tasikmalaya ini sekarang mempunyai 23 pondok inabah. Dari apa yang dipraktekkan di pondok tersebut, dilakukan kajian dan analisis tentang tazkiyatun nafsi sebagai metode psikoterapi dalam disertasi ini. Di sini juga diuraikan tentang ajaran-ajaran dasar dalam terakat ini.

HUBUNGAN AGAMA DAN FILSAFAT DI BARAT

HUBUNGAN AGAMA DAN FILSAFAT DI BARAT
(Sebuah Survei Sejarah Lintas Periode)

Biyanto


Pendahuluan

Menurut catatan sejarah, filsafat Barat bermula di Yunani. Bangsa Yunani mulai mempergunakan akal ketika mempertanyakan mitos yang berkembang di masyarakat sekitar abad VI SM. Perkembangan pemikiran ini menandai usaha manusia untuk mempergunakan akal dalam memahami segala sesuatu. Pemikiran Yunani sebagai embrio filsafat Barat berkembang menjadi titik tolak pemikiran Barat abad pertengahan, modern dan masa berikutnya.

Disamping menempatkan filsafat sebagai sumber pengetahuan, Barat juga menjadikan agama sebagai pedoman hidup, meskipun memang harus diakui bahwa hubungan filsafat dan agama mengalami pasang surut. Pada abad pertengahan misalnya dunia Barat didominasi oleh dogmatisme gereja (agama), tetapi abad modern seakan terjadi pembalasan terhadap agama. Peran agama di masa modern digantikan ilmu-ilmu positif. Akibatnya, Barat mengalami kekeringan spiritualisme. Namun selanjutnya, Barat kembali melirik kepada peranan agama agar kehidupan mereka kembali memiliki makna.

Makalah ini akan mendiskripsikan hubungan filsafat dan agama di Barat sebagai sebuah survei sejarah lintas periode.

1. Pengertian Agama

Agama memang tidak mudah diberi definisi, karena agama mengambil berbagai bentuk sesuai dengan pengalaman pribadi masing-masing. Meskipun tidak terdapat definisi yang universal, namun dapat disimpulkan bahwa sepanjang sejarah manusia telah menunjukkan rasa "suci", dan agama termasuk dalam kategori "hal yang suci". Kemajuan spiritual manusia dapat diukur dengan tingginya nilai yang tidak terbatas yang diberikan kepada obyek yang disembah. Hubungan manusia dengan "yang suci" menimbulkan kewajiban, baik untuk melaksanakan maupun meninggalkan sesuatu.

Di dalam setiap agama, paling tidak ditemukan empat ciri khas. Pertama, adanya sikap percaya kepada Yang Suci. Kedua, adanya ritualitas yang menunjukkan hubungan dengan Yang Suci. Ketiga, adanya doktrin tentang Yang Suci dan tentang hubungan tersebut. Keempat, adanya sikap yang ditimbulkan oleh ketiga hal tersebut.

Agama-agama yang tumbuh dan berkembang di muka bumi, sesuai dengan asalnya, dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, agama samawi (agama langit), yaitu agama yang dibangun berdasarkan wahyu Allah. Kedua, agama ardli (agama bumi), yaitu agama yang dibangun berdasarkan kreasi manusia.

2. Agama Universal di Barat

Sebelum dijelaskan tentang agama universal di Barat, perlu diketahui agama bangsa Yunani secara garis besar. Bangsa Yunani sebelum mengenal dewa-dewa, mereka memuja dan menyembah daya-daya alam, roh nenek moyang dan pimpinan tertinggi dari anggota keturunan. Kemudian, mereka melakukan pemujaan terhadap para dewa yang dipusatkan di gunung Olympia, sebagaimana diceritakan Homerus dan Hesiodes dalam syair-syair mereka. Hal ini terjadi berabad-abad lamanya hingga datangnya agama Yahudi dan Nashara.

Sementara itu, agama universal adalah agama yang kepercayaannya disajikan untuk semua umat manusia. Agama ini menganggap dirinya punya kebenaran penuh tentang realitas, pengetahuan, dan nilai, sehingga pemeluknya merasa berkewajiban menyampaikan kepada semua umat manusia. Agama universal yang dimaksud di sini adalah agama Yahudi, Kristen, dan Islam.

Agama dan Filsafat Barat Klasik

1. Masa Pra-Sokrates

Bangsa Yunani merupakan bangsa yang pertama kali berusaha menggunakan akal untuk berpikir. Kegemaran bangsa Yunani merantau secara tidak langsung menjadi sebab meluasnya tradisi berpikir bebas yang dimiliki bangsa Yunani.

Menurut Barthelemy, kebebasan berpikir bangsa Yunani disebabkan di Yunani sebelumnya tidak pernah ada agama yang didasarkan pada kitab suci. Keadaan tersebut jelas berbeda dengan Mesir, Persia, dan India. Sedangkan Livingstone berpendapat bahwa adanya kebebasan berpikir bangsa Yunani dikarenakan kebebasan mereka dari agama dan politik secara bersamaan.

Pada masa Yunani kuno, filsafat secara umum sangat dominan, meski harus diakui bahwa agama masih kelihatan memainkan peran. Hal ini terjadi pada tahap permulaan, yaitu pada masa Thales (640-545 SM), yang menyatakan bahwa esensi segala sesuatu adalah air, belum murni bersifat rasional. Argumen Thales masih dipengaruhi kepercayaan pada mitos Yunani. Demikian juga Phitagoras (572-500 SM) belum murni rasional. Ordonya yang mengharamkan makan biji kacang menunjukkan bahwa ia masih dipengaruhi mitos. Jadi, dapat dikatakan bahwa agama alam bangsa Yunani masih dipengaruhi misteri yang membujuk pengikutnya, sehingga dapat disimpulkan bahwa mitos bangsa Yunani bukanlah agama yang berkualitas tinggi.

Secara umum dapat dikatakan, para filosof pra-Socrates berusaha membebaskan diri dari belenggu mitos dan agama asalnya. Mereka mampu melebur nilai-nilai agama dan moral tradisional tanpa menggantikannya dengan sesuatu yang substansial.

2. Periode Athena

Hampir bersamaan dengan filsafat atomis, muncul para filosof yang mengalihkan obyek pemikiran manusia dari alam ke arah pemikiran tentang manusia sendiri. Filosof-filosof ini disebut dengan kaum sophis yang dipelopori oleh Protagoras (485-420 SM). Menurutnya, segala fenomena menjadi relatif bagi subyektifitas manusia. Ia mengklaim manusia sebagai ukuran kebenaran dengan istilah "homo mensura". Kaum sophis berpendapat bahwa manusia menjadi ukuran kebenaran. Tidak ada kebenaran yang berlaku secara universal, kebenaran hanya berlaku secara individual. Mereka menggunakan retorika sebagai alat utama untuk mempertahankan kebenaran. Tidak adanya ukuran kebenaran yang bersifat umum berdampak negatif, yaitu terciptanya kekacauan tentang kebenaran, semua teori pengetahuan diragukan, serta kepercayaan dan doktrin agama diabaikan.

Kaum sophis mendapat imbangannya dalam diri seorang alim yang merupakan guru teladan sepanjang jaman (the greatest teacher of all time) yang bernama Socrates (470-399 SM). Ia tidak menerima kepercayaan yang diabdikan pada sejumlah berhala, sebab baginya Tuhan adalah tunggal. Menurutnya, kebenaran umum itu ada, yaitu kebenaran yang diterima setiap orang. Pemikiran tersebut dilanjutkan oleh Plato (429-348 SM). Bagi Plato, kebenaran umum itu memang ada; namanya adalah ide. Idealisme metafisiknya, Tuhan adalah realitas yang tertinggi dan paling sempurna. Tuhan tidak mencipta sesuatu dari yang tidak ada, tetapi dari sesuatu yang disebut "Dzat Primordial" yang berisikan seluruh unsur asli alam. Selanjutnya, muncul Aristoteles (384-322 SM) yang meyakini Tuhan yang monoteistik dan kekekalan jiwa manusia. Sampai periode ini, agama dan filsafat sama-sama dominan.

Sebelum perjalanan survei tentang agama dan filsafat Barat klasik diakhiri, perlu dikemukakan pemikiran seorang filosof yang merumuskan kembali pemikiran Plato, terutama dalam menjawab persoalan agama. Aliran ini dikenal dengan Neo-Platonisme yang dirintis oleh Plotinus (205-70 SM).

Doktrin pokok Plotinus adalah tiga realitas, yaitu jiwa (soul), akal (nous), dan Yang baik (The Good). Hubungan ketiga unsur tersebut dikenal dengan Plotinus Trinity. Menurut Plotinus, Tuhan bukan untuk dipahami, tetapi untuk dirasakan. Tujuan berfilsafat (tujuan hidup secara umum) adalah bersatu dengan Tuhan. Rasa inilah satu-satunya yang dituntun kitab suci. Filsafat rasional dan sains tidak penting, bahkan salah seorang murid Plotinus, Simplicus, menutup sama sekali ruang gerak filsafat rasional. Filsafat Plotinus tumbuh bersamaan dengan munculnya agama Kristen, dan dijadikan dasar oleh para pemuka agama Kristen untuk mempertahankan ajaran-ajaran mereka.

Akibatnya, orang-orang yang menghidupkan filsafat dimusuhi dan dibunuh. Di antara korban kefanatikan agama Kristen adalah Hypatia (370-415). Pada saat itu, gereja sedang mengadakan konsolidasi diri dan mencoba untuk mengikis habis paganisme, dan filsafat dianggap sama dengan paganisme. Tidak lama kemudian, gereja membakar habis perpustakaan Iskandaria bersama seluruh isinya. Puncaknya pada tahun 529 M, Kaisar Justianus mengeluarkan undang-undang yang melarang filsafat di Athena.

Yang menarik dari pemikiran Plotinus dan Neo-Platonisme adalah pengalihan arah pemikiran dari alam (kosmo sentris) dan manusia (antroposentris) kepada pemikiran tentang Tuhan (theosentris), sehingga Tuhan dijadikan dasar segala sesuatu.

Agama dan Filsafat Barat Skolastik

Puncak terakhir filsafat Yunani adalah ajaran yang disebut Neo-Platonisme, yang ajarannya banyak bernuansa nilai-nilai spiritual yang transenden. Pemikiran Neo-Platonisme sangat berpengaruh terhadap perkembangan filsafat Kristen pada masa berikutnya.

Sejak gereja (agama) mendominasi, peranan akal (filsafat) menjadi sangat kecil. Karena, gereja telah membelokkan kreatifitas akal dan mengurangi kemampuannya. Pada saat itu, pendidikan diserahkan pada tokoh-tokoh gereja yang dikenal dengan "The Scholastics", sehingga periode ini disebut dengan masa skolastik. Para filosof aliran skolastik menerima doktrin gereja sebagai dasar pandangan filosofisnya. Mereka berupaya memberikan pembenaran apa yang telah diterima dari gereja secara rasional.

Diantara filosof skolastik yang terkenal adalah Augustinus (354-430). Menurutnya, dibalik keteraturan dan ketertiban alam semesta ini pasti ada yang mengendalikan, yaitu Tuhan. Kebenaran mutlak ada pada ajaran agama. Kebenaran berpangkal pada aksioma bahwa segala sesuatu diciptakan oleh Allah dari yang tidak ada (creatio ex nihilo). Kehidupan yang terbaik adalah kehidupan bertapa, dan yang terpenting adalah cinta pada Tuhan.

Ciri khas filsafat abad pertengahan ini terletak pada rumusan Santo Anselmus (1033-1109), yaitu credo ut intelligam (saya percaya agar saya paham). Filsafat ini jelas berbeda dengan sifat filsafat rasional yang lebih mendahulukan pengertian dari pada iman.

Menghadapi abad XII, Eropa membuka kembali kebebasan berpikir yang dipelopori oleh Peter Abelardus (1079-1142). Ia menginginkan kebebasan berpikir dengan membalik diktum Augustinus-Anselmus credo ut intelligam dan merumuskan pandangannya sendiri menjadi intelligo ut credom (saya paham supaya saya percaya). Peter Abelardus memberikan status yang lebih tinggi kepada penalaran dari pada iman.

Puncak kejayaan masa skolastik dicapai melalui pemikiran Thomas Aquinas (1225-1274). Ia mendapat gelar "The Angelic Doctor", karena banyak pikirannya, terutama dalam "Summa Theologia" menjadi bagian yang tak terpisahkan dari gereja. Menurutnya, pengetahuan berbeda dengan kepercayaan. Pengetahuan didapat melalui indera dan diolah akal. Namun, akal tidak mampu mencapai realitas tertinggi yang ada pada daerah adikodrati. Ini merupakan masalah keagamaan yang harus diselesaikan dengan kepercayaan. Dalil-dalil akal atau filsafat harus dikembangkan dalam upaya memperkuat dalil-dali agama dan mengabdi kepada Tuhan.

Pada tahap akhir masa skolastik terdapat filosof yang berbeda pandangan dengan Thomas Aquinas, yaitu William Occam (1285-1349). Tulisan-tulisannya menyerang kekuasaan gereja dan teologi Kristen. Karenanya, ia tidak begitu disukai dan kemudian dipenjarakan oleh Paus. Namun, ia berhasil meloloskan diri dan meminta suaka politik kepada Kaisar Louis IV, sehingga ia terlibat konflik berkepanjangan dengan gereja dan negara. William Occam merasa membela agama dengan menceraikan ilmu dari teologi. Tuhan harus diterima atas dasar keimanan, bukan dengan pembuktian, karena kepercayaan teologis tidak dapat didemonstrasikan.

Pada abad pertengahan, perkembangan alam pikiran di Barat amat terkekang oleh keharusan untuk disesuaikan dengan ajaran agama (doktrin gereja). Perkembangan penalaran tidak dilarang, tetapi harus disesuaikan dan diabdikan pada keyakinan agama.

Agama dan Filsafat Barat Modern

Di abad pertengahan, filsafat mencurahkan perhatian terhadap masalah metafisik. Saat itu sulit membedakan mana yang filsafat dan mana yang gereja. Sedangkan periode sejarah yang umumnya disebut modern memiliki sudut pandang mental yang berbeda dalam banyak hal, terutama kewibawaan gereja semakin memudar, sementara otoritas ilmu pengetahuan semakin kuat.

Masa filsafat modern diawali dengan munculnya renaissance sekitar abad XV dan XVI M, yang bermaksud melahirkan kembali kebudayaan klasik Yunani-Romawi. Problem utama masa renaissance, sebagaimana periode skolastik, adalah sintesa agama dan filsafat dengan arah yang berbeda. Era renaissance ditandai dengan tercurahnya perhatian pada berbagai bidang kemanusiaan, baik sebagai individu maupun sosial.

Di antara filosof masa renaissance adalah Francis Bacon (1561-1626). Ia berpendapat bahwa filsafat harus dipisahkan dari teologi. Meskipun ia meyakini bahwa penalaran dapat menunjukkan Tuhan, tetapi ia menganggap bahwa segala sesuatu yang bercirikan lain dalam teologi hanya dapat diketahui dengan wahyu, sedangkan wahyu sepenuhnya bergantung pada penalaran. Hal ini menunjukkan bahwa Bacon termasuk orang yang membenarkan konsep kebenaran ganda (double truth), yaitu kebenaran akal dan wahyu. Puncak masa renaissance muncul pada era Rene Descartes (1596-1650) yang dianggap sebagai Bapak Filsafat Modern dan pelopor aliran Rasionalisme. Argumentasi yang dimajukan bertujuan untuk melepaskan diri dari kungkungan gereja. Hal ini tampak dalam semboyannya "cogito ergo sum" (saya berpikir maka saya ada). Pernyataan ini sangat terkenal dalam perkembangan pemikiran modern, karena mengangkat kembali derajat rasio dan pemikiran sebagai indikasi eksistensi setiap individu. Dalam hal ini, filsafat kembali mendapatkan kejayaannya dan mengalahkan peran agama, karena dengan rasio manusia dapat memperoleh kebenaran.

Kemudian muncul aliran Empirisme, dengan pelopor utamanya, Thomas Hobbes (1588-1679) dan John Locke (1632-1704). Aliran Empirisme berpendapat bahwa pengetahuan dan pengenalan berasal dari pengalaman, baik pengalaman batiniah maupun lahiriah. Aliran ini juga menekankan pengenalan inderawi sebagai bentuk pengenalan yang sempurna.

Di tengah gegap gempitanya pemikiran rasionalisme dan empirisme, muncul gagasan baru di Inggris, yang kemudian berkembang ke Perancis dan akhirnya ke Jerman. Masa ini dikenal dengan Aufklarung atau Enlightenment atau masa pencerahan sekitar abad XVIII M.

Pada abad ini dirumuskan adanya keterpisahan rasio dari agama, akal terlepas dari kungkungan gereja, sehingga Voltaire (1694-1778) menyebutnya sebagai the age of reason (zaman penalaran). Sebagai salah satu konsekwensinya adalah supremasi rasio berkembang pesat yang pada gilirannya mendorong berkembangnya filsafat dan sains.

Meskipun demikian, di antara pemikir zaman aufklarung ada yang memperhatikan masalah agama, yaitu David Hume (1711-1776). Menurutnya, agama lahir dari hopes and fears (harapan dan penderitaan manusia). Agama berkembang melalui proses dari yang asli, yang bersifat politeis, kepada agama yang bersifat monoteis. Kemudian Jean Jacques Rousseau (1712-1778) berjuang melawan dominasi abad pencerahan yang materialistis dan atheis. Ia menentang rasionalisme yang membuat kehidupan menjadi gersang. Ia dikenal dengan semboyannya retournous a la nature (kembali ke keadaan asal), yakni kembali menjalin keakraban dengan alam.

Tokoh lainnya adalah Imanuel Kant (1724-1804). Filsafatnya dikenal dengan Idealisme Transendental atau Filsafat Kritisisme. Menurutnya, pengetahuan manusia merupakan sintesa antara apa yang secara apriori sudah ada dalam kesadaran dan pikiran dengan impresi yang diperoleh dari pengalaman (aposteriori). Ia berusaha meneliti kemampuan dan batas-batas rasio. Ia memposisikan akal dan rasa pada tempatnya, menyelamatkan sains dan agama dari gangguan skeptisisme.

Tokoh idealisme lainnya adalah George Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831). Filsafatnya dikenal dengan idealisme absolut yang bersifat monistik, yaitu seluruh yang ada merupakan bentuk dari akal yang satu, yakni akal yang absolut (absolut mind). Ia memandang agama Kristen yang dipahaminya secara panteistik sebagai bentuk terindah dan tertinggi dari segala agama.

Sementara di Inggris, Jeremy Benthem (1748-1832) dengan pemikiran-pemikirannya mengawali tumbuhnya aliran Utilitarianisme. Utility dalam bahasa Inggris berarti kegunaan dan manfaat. Makna semacam inilah yang menjadi dasar aliran Utilitarianisme. Tokoh lain aliran ini adalah John Stuart Mill (1806-1873) dan Henry Sidgwick (1838-1900). Menurut aliran utilitarianis bahwa pilihan terbaik dari berbagai kemungkinan tindakan perorangan maupun kolektif adalah yang paling banyak memberikan kebahagiaan pada banyak orang. Kebahagiaan diartikan sebagai terwujudnya rasa senang dan selamat atau hilangnya rasa sakit dan was-was. Hal ini bukan saja menjadi ukuran moral dan kebenaran, tetapi juga menjadi tujuan individu, masyarakat, dan negara.

Aliran filsafat yang lain adalah Positivisme. Dasar-dasar filsafat ini dibangun oleh Saint Simon dan dikembangkan oleh Auguste Comte (1798-1857). Ia menyatakan bahwa pengetahuan manusia berkembang secara evolusi dalam tiga tahap, yaitu teologis, metafisik, dan positif. Pengetahuan positif merupakan puncak pengetahuan manusia yang disebutnya sebagai pengetahuan ilmiah. Sesuai dengan pandangan tersebut kebenaran metafisik yang diperoleh dalam metafisika ditolak, karena kebenarannya sulit dibuktikan dalam kenyataan.

Auguste Comte mencoba mengembangkan Positivisme ke dalam agama atau sebagai pengganti agama. Hal ini terbukti dengan didirikannya Positive Societies di berbagai tempat yang memuja kemanusiaan sebagai ganti memuja Tuhan. Perkembangan selanjutnya dari aliran ini melahirkan aliran yang bertumpu kepada isi dan fakta-fakta yang bersifat materi, yang dikenal dengan Materialisme.

Tokoh aliran Materialisme adalah Feurbach (1804-1872). Ia menyatakan bahwa kepercayaan manusia kepada Allah sebenarnya berasal dari keinginan manusia yang merasa tidak bahagia. Lalu, manusia mencipta Wujud yang dapat dijadikan tumpuan harapan yaitu Tuhan, sehingga Feurbach menyatakan teologi harus diganti dengan antropologi. Tokoh lain aliran Materialisme adalah Karl Marx (1820-1883) yang menentang segala bentuk spiritualisme. Ia bersama Friederich Engels (1820-1895) membangun pemikiran komunisme pada tahun 1848 dengan manifesto komunisme. Karl Marx memandang bahwa manusia itu bebas, tidak terikat dengan yang transendental. Kehidupan manusia ditentukan oleh materi. Agama sebagai proyeksi kehendak manusia, bukan berasal dari dunia ghaib.

Periode filsafat modern di Barat menunjukkan adanya pergeseran, segala bentuk dominasi gereja, kependetaan dan anggapan bahwa kitab suci sebagai satu-satunya sumber pengetahuan diporak-porandakan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa abad modern merupakan era pembalasan terhadap zaman skolastik yang didominasi gereja.

Agama dan Filsafat Barat Kontemporer

Pada awal abad XX, di Inggris dan Amerika muncul aliran Pragmatisme yang dipelopori oleh William James (1842-1910). Sebenarnya, Pragmatisme awalnya diperkenalkan oleh C.S. Pierce (1839-1914). Menurutnya, kepercayaan menghasilkan kebiasaan, dan berbagai kepercayaan dapat dibedakan dengan membandingkan kebiasaan yang dihasilkan. Oleh karena itu, kepercayaan adalah aturan bertindak.

William James berpendapat bahwa teori adalah alat untuk memecahkan masalah dalam pengalaman hidup manusia. Karena itu, teori dianggap benar, jika teori berfungsi bagi kehidupan manusia. Sedangkan agama, menurutnya, mempunyai arti sebagai perasaan (feelings), tindakan (acts) dan pengalaman individu manusia ketika mencoba memahami hubungan dan posisinya di hadapan apa yang mereka anggap suci. Dengan demikian, keagamaan bersifat unik dan membuat individu menyadari bahwa dunia merupakan bagian dari sistem spiritual yang dengan sendirinya memberi nilai bagi atau kepadanya.

Agak berbeda dengan William James, tokoh Pragmatisme lainnya, John Dewey (1859-1952) menyatakan bahwa tugas filsafat yang terpenting adalah memberikan pengarahan pada perbuatan manusia dalam praktek hidup yang harus berpijak pada pengalaman.

Pada saat yang bersamaan, juga berkembang aliran Fenomenologi di Jerman yang dipelopori oleh Edmund Husserl (1859-1938). Menurutnya, untuk mendapatkan pengetahuan yang benar ialah dengan menggunakan intuisi langsung, karena dapat dijadikan kriteria terakhir dalam filsafat. Baginya, Fenomenologi sebenarnya merupakan teori tentang fenomena; ia mempelajari apa yang tampak atau yang menampakkan diri.

Pada abad tersebut juga lahir aliran Eksistensialisme yang dirintis oleh Soren Kierkegaard (1813-1855). Tokoh terpenting dalam aliran ini adalah Jean Paul Sartre (1905-1980) yang berpandangan atheistik. Menurutnya, Tuhan tidak ada, atau sekurang-kurangnya manusia bukan ciptaan Tuhan. Eksistensi manusia mendahului esensinya; manusia bebas menentukan semuanya untuk dirinya dan untuk seluruh manusia.

Walaupun rasionalisme Eropa memperoleh kemenangan, ternyata menyimpan beberapa keretakan yang pada gilirannya menimbulkan reaksi, seperti lahirnya anti rasionalisme, humanisme, dan lain-lain. Periode kontemporer di Barat juga ditandai dengan adanya keinginan yang demikian kuat untuk kembali kepada ajaran agama. Filosof di Barat mulai menyadari bahwa era modern telah melahirkan kehidupan yang kering spiritual dan tidak bermakna.

Kesimpulan

Dari uraian terdahulu, maka dapat ditarik dua kesimpulan. Pertama, hubungan filsafat dan agama di Barat telah terjadi sejak periode Yunani Klasik, pertengahan, modern, dan kontemporer, meskipun harus diakui bahwa hubungan keduanya mengalami pasang surut.

Kedua, dewasa ini di Barat terdapat kecenderungan yang demikian kuat terhadap peranan agama. Masyarakat modern yang rasionalistik, vitalistik, dan materialistik, ternyata hampa spiritual, sehingga mulai menengok dunia Timur yang kaya nilai-nilai spiritual. @